Rabu, 04 Juni 2014

Hello again Palembang

Setelah 10 tahun lamanya, akhirnya saya menginjakkan kaki lagi di tanah kelahiran mama. Kali ini bukan sekedar mudik menjenguk keluarga, tapi saya mau travel keliling palembang. Dan berikut adalah list perjalanan saya di palembang pada tanggal 24 Mei 2014 :
1. Mesjid Muhammad Cheng Hoo
2. Jembatan Ampera
3. Pulau Kemaro
4. Benteng Kuto Besak
5. Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
6. Monpera
7. Taman Bukit Seguntang
8. Museum Balaputradewa
9. Sekayu

Tepat pukul 02.00 WIB alarm di HP berbunyi, trus langsung bangun gosok gigi siap-siap berangkat. Sampai di terminal damri jam setengah 4 pagi langsung cuss jalan ke bandara. Dan jam 5 pagi kurang kita udah bertengger duduk di boarding room terminal 1C Soekarno Hatta airport.

selfie

candid & edited by me

view from window plane

captured & edited by me

Touchdown at Sultan Mahmud Badaruddin II international airport & kita sudah dijemput dibandara oleh keluarga besar Alexander dari Sekayu. Gak pake ba bi bu, cas cis cus, barang bawaan beserta orangnya langsung masuk ke dalam mobil & kita pun langsung berangkat keliling Kota Palembang.

foto bareng dulu sebelum pergi ^_^

1. Mesjid Muhammad Cheng Hoo
Tempat pertama yg kami datangi adalah Masjid Muhammad Cheng Hoo. Sejujurnya saya tidak tahu jalan sama sekali di palembang ini, tapi yg saya ingat rute perjalanannya melewati jembatan Ampera, trus belok kanan dibawah flyover setelah jembatan Ampera (CMIIW).

 Me at Mesjid Muhammad Cheng Hoo

 Tongsis, tongkat exist

at Mesjid Muhammad Cheng Hoo

rest & relax :)

Mau cerita sedikit ya mengenai Mesjid Muhammad Cheng Hoo yg ada di Palembang ini :)
Masjid Cheng Hoo Palembang sebenarnya bernama Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo Sriwijaya Palembang adalah Masjid bernuansa Muslim Tionghoa yang berlokasi di Jakabaring Palembang. Masjid ini didirikan atas prakarsa para sespuh, penasehat, pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sumsel, dan serta tokoh masyarakat Tionghoa di sekitar Palembang.Mesjid yang didirikan warga keturunan ini juga memiliki imam baru yang sudah hafal 30 juz dari kitab suci umat Islam, Al-Quran yaitu Choirul Rizal.

Selain itu, Mesjid yang dibangun dengan perpaduan unsur Cina, melayu, dan nusantara ini sudah menyelesaikan beberapa bagian masjid seperti rumah imam, pagar sekeliling, dan mengaktifkan Tempat Pendidikan Al-Quran untuk anak-anak secara gratis. Pembangunan masjid ini diawali dengan peletakkan batu pertama 2003. Modal awal pembangunan masjid itu sekitar Rp 150 juta dari hasil kumpul-kumpul dengan kawan-kawan di PITI. Tanah tempat masjid berdiri merupakan hibah dari pemerintah daerah dan baru diresmikan pada 2006.

Masjid Cheng Ho mampu menampung jamaah sekitar 600 dan berlantai 2. Masjid yang dibangun di atas tanah 5.000 meter persegi ini berada di sebuah kompleks perumahan kelas menengah. Menara di kedua sisi masjid meniru klenteng-klenteng di Cina, dicat warna merah dan hijau giok.

Masjid ini mulai digunakan sejak Agustus 2008. Tidak ada pembatas yang memisahkan jamaah laki-laki dan perempuan di dalam masjid. Laki-laki salat di lantai pertama, sedang perempuan di lantai kedua. Di lingkungan masjid ini ada sebuah rumah kecil buat imam, sebuah kantor, sebuah perpustakaan, dan sebuah ruang serbaguna.

Sejarahnya :
Keberadaan Laksamana Cheng Ho tak dipisahkan dari Palembang. Sejak melakukan pelayaran mengelilingi dunia, Cheng Ho sempat tiga kali datang ke Palembang. Cheng Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao (馬 三保), berasal dari provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim. Ia adalah seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam.

Alam penyebaran Islam di Indonesia, selain dilakukan para pedagang dari Arab dan sekitarnya, ternyata para pedagang asal Tionghoa ikut berperan menyebarkan Islam di daerah pesisir Palembang. Di sini pula peran Laksamana Cheng Ho dalam menyebarkan Islam di Palembang. Armada Cheng Ho sebanyak 62 buah kapal dan tentara yang berjumlah 27.800 yang dipimpinnya itu pernah empat kali berlabuh di pelabuhan tua di Palembang. Pada 1407 Kota Palembang yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya pernah meminta bantuan armada Tiongkok yang ada di Asia Tenggara untuk menumpas perampok-perampok Tionghoa Hokkian yang mengganggu ketenteraman. Kepala perampok Chen Tsu Ji tersebut berhasil diringkus dan dibawa ke Peking. Semenjak itu, Laksamana Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam di Kota Palembang yang memang sudah ada sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orangorang Tionghoa. Gerombolan perompak yang dipimpin Chen Tsu Ji, sebenarnya bekas seorang perwira angkatan laut China asal Kanton. Dia melarikan diri ketika Dinasti Ming berkuasa. Pelariannya berlabuh di Palembang. Kedatangannya ke Palembang telah membuat resah para pedagang yang singgah. Sebab, Chen Tsu Ji membawa ribuan pengikutnya dan membangun basis kekuasaan di Palembang, atau dalam bahasa China, po-lin-fong, yang berarti ”pelabuhan tua.” Selama berkuasa di Palembang, Chen Tsu Ji menguasai daerah sekitar muara Sungai Musi, perairan Sungsang, dan Selat Bangka. Anak buah Chen Tsu Ji merompak semua kapal yang melintasi perairan itu. Kebetulan atau tidak, daerah-daerah itu sampai kini jadi kantung-kantung bandit Palembang. Selama perjalanan Cheng Ho antara 1405–1433 M, dia pernah empat kali ke Palembang. Tahun 1407 masehi, armada Cheng Ho mampir ke Palembang dalam rangka menumpas perompak yang dipimpin Chen Tsui Ji tersebut. Kemudian, pada tahun 1413–1415M, 1421–1422M, dan tahun 1431–1433 M, armada Cheng Ho berlabuh ke Palembang. Setelah memberantas para perampok, Laksamana Cheng Ho berlabuh hingga tiga kali ke Palembang. Namun, tidak ada yang tahu maksud dan tujuannya. (source by wikipedia).

Sayangnya saya gak bisa masuk kedalam Mesjid, karena sedang berhalangan :)

2. Jembatan Ampera
Kami sebenarnya tidak langsung berwisata ke Jembatan Ampera, karena kelaparan akhirnya mampir dulu ke pasar tradisional di dekat Ampera untuk makan Mie Celor. Dan ini pertama kalinya dalam hidup saya makan Mie Celor asli Palembang, dan rasanya enaaaaaakkkk!!! Sayang gak bisa dibawa pulang. :(

Mie Celor 26 ilir di Palembang, so delicious!!

Sesudah perut kenyang, alhamdulillah.. kita langsung menuju ke Jembatan Ampera untuk foto-foto sebentar saja, karena perjalanan langsung dilanjutkan ke Pulau Kemaro.

 Me at San Francisco, eh Ampera Bridge deh!! Haha!

Ampera Bridge, Palembang

Jembatan Ampera adalah sebuah jembatan di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah kota Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.

Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.

Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.

Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).

Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.

Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).

Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat

Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.

Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.

Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya.

Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini. (source by wikipedia).

 Ampera Bridge at night (source by google)

3. Pulau Kemaro
Yak, gak berlama-lama foto-foto dengan background Jembatan Ampera kita langsung naik perahu menuju Pulau Kemaro yg seharga Rp 200.000 untuk perjalanan PP ke Pulau. Dan inilah dia view di Pulau Kemaro.

 on boat to Kemaro Island

Pohon Cinta Pulau Kemaro

Pagoda di Pulau Kemaro

with family

 me at pulau kemaro with Buddha Statue

another statue at Kemaro Island (Panda)
Legenda Pulau Kemaro (source by google)

Pulau Kemaro, merupakan sebuah Delta kecil di Sungai Musi, terletak sekitar 6 km dari Jembatan Ampera. Pulau Kemaro terletak di daerah industri,yaitu di antara Pabrik Pupuk Sriwijaya dan Pertamina Plaju dan Sungai Gerong. Pulau kemaro berjarak sekitar 40 km dari kota Palembang. Pulau Kemaro adalah tempat rekreasi yg terkenal di Sungai Musi. Di tempat ini terdapat sebuah vihara cina (klenteng Hok Tjing Rio). Di Pulau Kemaro ini juga terdapat kuil Buddha yang sering dikunjungi umat Buddha untuk berdoa atau berziarah ke makam. Di sana juga sering diadakan acara Cap Go Meh setiap Tahun Baru Imlek.

Di Pulau Kemaro juga terdapat makam dari putri Palembang. Menurut legenda setempat, pada zaman dahulu, seorang putri Palembang dikirim untuk menikah dengan seorang anak raja dari Cina. Sang putri meminta 9 guci emas sebagai mas kawinnya. Untuk menghindari bajak laut maka guci-guci emas tersebut ditutup sayuran dan ketika sang anak raja membukanya dilihatnya hanya berisi sayuran maka guci-guci tersebut dibuangnya ke sungai. Rasa kecewa dan menyesal membuat sang anak raja memutuskan untuk menerjunkan diri ke sungai dan tenggelam. Sang putri pun ikut menerjunkan diri ke sungai dan juga tenggelam. Sang putri dikuburkan di Pulau Kemaro tersebut dan untuk mengenangnya dibangunlah Kuil. (source by wikipedia).

Mau cerita legenda yg selengkapnya? Nanti kita bahas dilain judul ya, atau kalian bisa baca ceritanya di link berikut ini --> http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/171-Legenda-Pulo-Kemaro#

4. Benteng Kuto Besak
Benteng Kuto Besak ini gak jauh dari jembatan Ampera & Museum Sultan Mahmud Badaruddin II di palembang, kita tinggal jalan kaki aja menuju 3 tempat ini.

Benteng Kuto Besak, Palembang
Kuto Besak adalah bangunan keraton yang pada abad XVIII menjadi pusat Kesultanan Palembang. Gagasan mendirikan Benteng Kuto Besak diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah pada tahun 1724-1758 dan pelaksanaan pembangunannya diselesaikan oleh penerusnya yaitu Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah pada tahun 1776-1803. Sultan Mahmud Bahauddin ini adalah seorang tokoh kesultanan Palembang Darussalam yang realistis dan praktis dalam perdagangan internasional, serta seorang agamawan yang menjadikan Palembang sebagai pusat sastra agama di Nusantara. Menandai perannya sebagai sultan, ia pindah dari Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak. Belanda menyebut Kuto Besak sebagai nieuwe keraton alias keraton baru.

Benteng ini mulai dibangun pada tahun 1780 dengan arsitek yang tidak diketahui dengan pasti dan pelaksanaan pengawasan pekerjaan dipercayakan pada seorang Tionghoa. Semen perekat bata menggunakan batu kapur yang ada di daerah pedalaman Sungai Ogan ditambah dengan putih telur. Waktu yang dipergunakan untuk membangun Kuto Besak ini kurang lebih 17 tahun. Keraton ini ditempati secara resmi pada hari Senin pada tanggal 21 Februari 1797.

Berbeda dengan letak keraton lama yang berlokasi di daerah pedalaman, keraton baru berdiri di posisi yang sangat terbuka, strategis, dan sekaligus sangat indah. Posisinya menghadap ke Sungai Musi.

Pada masa itu, Kota Palembang masih dikelilingi oleh anak-anak sungai yang membelah wilayah kota menjadi pulau-pulau. Kuto Besak pun seolah berdiri di atas pulau karena dibatasi oleh Sungai Sekanak di bagian barat, Sungai Tengkuruk di bagian timur, dan Sungai Kapuran di bagian utara.

Benteng Kuto Besak saat ini ditempati oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwijaya.

Pembangunan dan penataan kawasan di sekitar Plaza Benteng Kuto Besak diproyeksikan akan menjadi tempat hiburan terbuka yang menjual pesona Musi dan bangunan-bangunan bersejarah. Jika dilihat dari daerah Seberang Ulu atau Jembatan Ampera, pemandangan yang tampak adalah pelataran luas dengan latar belakang deretan pohon palem di halaman Benteng Kuto Besak, dan menara air di Kantor Wali Kota Palembang.

Di kala malam hari, suasana akan terasa lebih dramatis. Cahaya dari deretan lampu-lampu taman menciptakan refleksi warna kuning pada permukaan sungai.

Pemkot Palembang memiliki sejumlah rencana pengembangan untuk mendukung Plaza Benteng Kuto Besak sebagai obyek wisata (source by wikipedia).

Saya gak bisa masuk kedalam sini, dikarenakan kata om ini adalah Markas Militer! Jeger!! semacam nganterin nyawa aja klo saya masuk kedalam hahahhaa..

5. Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Tempat wisata berikutnya yg saya kunjungi adalah Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, seperti yg sudah saya ceritakan sebelumnya kita cukup jalan kaki saja dari Lokasi Benteng Kuto Besak. Kira-kira beginilah penampakan Museum & Benda-benda bersejarah yg ada didalamnya.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang (source by google)


kika : mom, aunty, aliya (cousin) & me *maaf fotonya blur, pencahayaan tidak memadai*

Pelaminan pengantin kerajaan kesultanan palembang ada yg bilang juga ini tahta kesultanan palembang

kamar tidur raja/kamar pengantin kesultanan palembang

benda-benda bersejarah lainnya yg ada di dalam Museum Sultan Mahmud Badaruddin II

lukisan Sultan Mahmud Badaruddin II

eksistensi harga mati!! :D

Ceritanya :
Pada dasarnya museum bukan sekedar gudang untuk menyimpan benda-benda kuno, tetapi juga merupakan sebuah lembaga yang difungsikan untuk merawat dengan tujuan pelestarian, mengkomunikasikannya kepada masyarakat baik melalui pameran, maupun aktifitas lainnya seperti seminar, diskusi, ceramah untuk tujuan pendidikan sekaligus dapat pula difungsikan untuk sarana rekreasi dan menunjang pariwisata bagi daerah dimana museum tersebut berada.

Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode(1803-1813,1818-1821), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin(1776-1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu. Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng. Pada tangga 14 Juli 1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate. Penggunaan nama Sultan Mahmmud Badaruddin II pada museum untuk menggingat dan menghargai jasa-jasanya.

Museum ini terletak di tepi sungai Musi di dekat Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera. Museum ini terdiri dari dua lantai berarsitektur kolonial dengan atap rumah limas khas Palembang. Dahulu, wilayah Museum Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan lahan bekas keraton yang dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada tahun 1737.
Berdasarkan hasil penelitian dari Tim Arkeologi Nasional tahun 1988, pada lokasi ditemukan fondasi batu bata dari bangunan Kuto Lamo, di atas tumpukan balok-balok kayu yang terbakar. Menurut catatan, bangunan Benteng Kuto Lamo di masa Sultan Mahmud Badaruddin I (Jayo Wikramo) resmi ditempati pada hari Senin, 29 September 1737. Karena itu disimpulkan bahwa balok-balok tersebut tentunya sudah terlebih dahulu ada.
Hal ini di buktikan seperti yang di katakan oleh Djohan Hanafiah bahwa Bangunan ini dibangun kembali setelah dibongkar habis, dan memang sebelumnya merupakan lokasi Benteng Kuto Lamo yang sering juga di sebut Kuto Tengkuruk atau Kuto Batu, dimana pada bagian dalamnya pernah berdiri Keraton Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikromo atau Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758).

Pada era kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, Tahun 1821 keraton ini mendapat serangan dari Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian dibongkar habis pada 7 Oktober 1823 atas perintah Reguring Commissaris Belanda, J. L. Van Seven Hoven. Pemerintah kolonial ingin menghilangkan monumental Kesultanan Palembang dan membalas dendam atas dibakarnya Loji Sungai Aur oleh Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun 1811. Atas pendudukan Kuta Besak dan penghancuran Kuta Lama, maka konsentrasi kota berada diwilayah ini. Pasar dan kantor-kantor berdiri dilingkungan Kuta Besak, bahkan perahu-perahu pun menjadikannya tempat berlabuh yang ideal.
Pada tahun 1823, seiring penghapusan kekuasaan Sultan Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823 M) Belanda melakukan pembangunan di bekas tapak Benteng Kuto Lamo. Secara bertahap rumah yang dibangun rencananya diperuntukkan bagi komisaris karajaan Belanda di Palembang , J. L. Van Seven Hoven, seorang advokat fiskal, yang menggantikan posisi Herman Warner Muntinghe. Muntinghe menjadi komisaris di Palembang selama November 1821 - Desember 1823. Pada tahun 1824, tahap pertama rumah dikenal sebagai gedung siput. Setelah itu, bagian bangunan  terus dilakukan penambahan. (Syarufie,Tudhy.2005. halaman:9).

Bangunan ini selesai didirikan kembali dengan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa dengan arsitektur Palembang sendiri.  Dibangun bergaya indis sebagai bangunan yang lazim pada masa itu dan sudah menggunakan bangunan baja beton dan kaca sebagai imbas dari revolusi industri di Eropa. Pada tahun 1825 dan selanjutnya dijadikan Komisariat Pemerintah Hindia Belanda untuk Sumatera Bagian Selatan, sekaligus sebagai kantor Residen Belanda.

Seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika sejarah yang terjadi di Kota Palembang, Fungsi bangunan ini teah silih berganti, mulai dari markas Jepang pada masa pendudukan, Teritorium II Kodam Sriwijaaya di awal kemerdekaan yang kemudian berpindah pengelolaan ke Pemerintah Kota Palembang sebelum akhirnya menjadi Museum.

Meskipun telah mengalami renovasi, bentuk asli bangunan tidak berubah. Perubahan hanya dilakukan pada bagian dalam bangunan dengan menambah sekat-sekat dan penutupan pintu-pintu penghubung. Berbeda dengan bangunan yang didirikan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam yang umumnya memakai bahan kayu, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II memakai bahan bata.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan salah satu museum yang terdapat di kota Palembang atau tepatnya berada pada  104 45’ 40’’BT dan 02 59’25’’ LS. Museum ini meyimpan arca-arca kuno diantaranya Ganesha, Amarawati dan Udha di era Sriwijaya, berbagai macam perabotan tradisional kesultanan Palembang serta sketsa yang menggambarkan perjuangan rakyat Palembang dalam usahanya mengusir penjajah Belanda (Hastuti, Trini, Sugeng Mardoko. 2008.Hal 36-37).

Pengadaan koleksi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II diawali sekitar tahun 1984, bersamaan dengan dipindahkannya Museum Rumah Bari ke Museum Balaputera Dewa di Jalan Srijaya 1, KM 5.5 Palembang. Museum Rumah Bari yang awalnya dikelola Pemerintah Kota Palembang, untuk kepentingan yang lebih besar dipindahkan ke Museum Provinsi Sumatera Selatan. Namun pemindahan tersebut tidak beserta koleksinya. Koleksi peninggalan Museum Bari-lah yang menjadi cikal-bakal koleksi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, selain koleksi Arca Buddha Siguntang yang terlebih dahulu berada di halaman Museum SMB II.

Adapun secara rinci jumlah koleksi Museum SMB II sampai dengan akhir Oktober 2007 adalah 368 koleksi dengan rincian sebagai berikut:
1. Arkeologika        : 9 Unit
2. Etnografika        : 146 Unit
3. Biologi        : 15 Unit
4. Keramologika      : 20 Unit
5. Seni Rupa         : 5 Unit
6. Numismatika        : 173 Unit

6. Monpera (Monumen Perjuangan Rakyat)
Bangunan ini terletak di pusat kota tepatnya di depan Masjid Agung. Lokasi tersebut dulunya basis pertempuran Lima Hari Lima Malam. Peletakan Batu Pertamanya dan pemancangan tiang bangunan pada tanggal 17 Agustus 1975 dan diresmikan pada tanggal 23 Februari 1988 oleh Menko Kesra Alamsyah Ratu Perwira Negara.

Monumen ini dibangun unntuk mengenang perjuangan rakyat Sumatera Selatan ketika melawan kaum penjajah pada masa revolusi fisik yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang yang pecah pada tanggal 1 Januari 1947 yang melibatkan seluruh rakyat Palembang melawan Belanda.
Didalam Museum ini kita dapat melihat berbagai jenis senjata yang dipergunakan dalam pertempuran tersebut termasuk berbagai dokumen perang dan benda-benda bersejarah lainnya.
Tapi saya lagi-lagi tidak masuk kedalam, karena sudah terlalu lelah (orang-orang yg ikut termasuk mama & tante)..

Monpera

7. Taman Bukit Seguntang
Dalam perjalanan ke tempat ini saya ketiduran, jadi mohon maaf tidak tahu arah letak pastinya dimana. Ditempat ini pemandangannya hanya sebuah taman yg ternyata di atasnya itu ada beberapa kuburan Raja, panglima & putri-putri palembang.

 Makam Putri Rambut Selako (source by google)

Makam Radja Segentar Alam (source by google)

Taman Wisata Bukit Siguntang

me at Bukit Siguntang, Palembang

Bukit Seguntang atau kadang disebut juga Bukit Siguntang adalah sebuah bukit kecil setinggi 29—30 meter dari permukaan laut yang terletak sekitar 3 kilometer dari tepian utara Sungai Musi dan masuk dalam wilayah kota Palembang, Sumatera Selatan. Secara administratif situs ini termasuk kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang. Bukit ini berjarak sekitar 4 kilometer di sebelah barat daya pusat kota Palembang, dapat dicapai dengan menggunakan angkutan umum menuju jurusan Bukit Besar.

Di lingkungan sekitar bukit ini ditemukan beberapa temuan purbakala yang dikaitkan dengan kerajaan Sriwijaya yang berjaya sekitar kurun abad ke-6 sampai ke-13 masehi. Di puncak bukit ini terdapat beberapa makam yang dipercaya sebagai leluhur warga Palembang. Oleh masyarakat setempat, kompleks ini dianggap keramat dan menjadi tempat tujuan ziarah. Kini Kawasan ini menjadi Taman Purbakala untuk menjaga artefak-artefak yang mungkin masih belum terungkap.

Bukit Seguntang adalah gundukan tanah yang paling menonjol di dataran kota Palembang. Bukit yang dipenuhi taman dan pepohonan besar ini dipercaya sebagai kompleks pemakaman raja-raja Melayu. Pada bagian puncak bukit terdapat beberapa makam yang menurut penduduk lokal dikaitkan dengan tokoh-tokoh raja, bangsawan dan pahlawan Melayu-Sriwijaya. Terdapat tujuh makam di bukit ini, yaitu makam:

1. Raja Sigentar Alam
2. Pangeran Raja Batu Api
3. Putri Kembang Dadar
4. Putri Rambut Selako
5. Panglima Tuan Junjungan
6. Panglima Bagus Kuning
7. Panglima Bagus Karang

Menurut kitab Sulalatus Salatin, Bukit Seguntang merupakan tempat datangnya Sang Sapurba, keturunan Iskandar Zulkarnain, yang dikemudian hari menurunkan raja-raja Melayu di Sumatera, Kalimantan Barat, dan Semenanjung Malaya. Bukit Seguntang diibaratkan sebagai potongan Gunung Mahameru dalam kepercayaan Hindu-Buddha, dan dianggap suci karena merupakan cikal bakal orang-orang Melayu. Raja yang memerintah di Malaka dikatakan sebagai keturunan Sang Sapurba.

8. Museum Balaputradewa
Museum Balaputradewa dibangun dengan, arsitektur tradisional Palembang pada areal seluas 23.565 meter persegi. Di museum ini terdapat sekitar 2000 koleksi barang-barang tradisional Palembang, ofset binatang dari berbagai daerah di Sumatera Selatan dan beberapa miniatur rumah di pedalaman. Terdapat pula replika prasasti dari arca kuno yang pernah ditemukan di Bukit Siguntang. (source by google).
 Museum Balaputradewa (source by google)
me at Museum Balaputradewa

Ok, done here.. langsung berangkat kita ke kota Sekayu dengan lama perjalanan sekitar 3-4 jam kalau lancar. Tapi sebelumnya kita makan siang dulu dijalan, makannya makan padang. hahaha tournya ke Palembang tapi makannya makan padang :p

8. Sekayu
Bersambung ceritanya di Sekayu ke link berikut --> Spend The Holidays in Sekayu

2 komentar:

  1. Haloo
    Salam kenal dr saya di kota Palembang, kapan2 kita tour keliling bareng yok ke tempat wisata Palembang yg tersembunyi...
    :D

    BalasHapus